Literatur yang oppung-oppungku tinggalkan, benar-benar lebih maju dari omong kosong kapital di tanah-tanah orang-orang serakah saat ini,
Sebagai contoh, keturunan Oppung Siraja Lontung, kalian mungkin mengenal beberapa marga, seperti Nainggolan, Sinaga, Situmorang, Simatupang, dan lainnya. Bagi kami, Menghormati Harimau bukan sekadar mitos yang dibuat-buat untuk menundukkan, ada harmonisasi di sana,
Oppung kami, Siraja Lontung begitu dekat dengan Harimau, yang kami sebut sebagai Babiat Sitelpang (Harimau Pincang), kedekatannya melebihi apapun,
Aku tidak akan membahas mitos, tapi harmonisasi itu; dengan alam, dengan manusia, dengan darah keturunannya. Oppung Babiat Sitelpang adalah pengganti ayah bagi Oppung kami, ya, Harimau, menjadi ayah Kakek Moyang kami, terdengar tidak masuk akal, begitu juga Omong Kosong Siraja Batak, tidak masuk akal bagiku, tapi ini mungkin dapat menjadi tulisan lain yang cukup kompleks.
Jadi, dari sepenggal cerita yang melatarbelakangi tulisan ini, apa yang dapat aku pelajari?
Bahwa, Kedekatan Manusia dengan Alam, dan seluruh isinya, harus melebihi apapun, Kalian para penganut Agama Langit, mungkin tidak asing dengan kata-kata ini “Kasih Cintamu ke Tuhan Allah, harus melebihi Cintamu kepada Manusia, kebendaan, dan nafsu.”
Mencintai Manusia, terkadang harus mencintai kerusakan pula, dan kerusakan, menyisakan sayatan yang membekas, luka itu tidak memiliki penawar, dan sialnya lagi, luka itu menyiksa sebelum mengambil nafas hidup kalian.
Bagi kami, atau setidaknya bagiku, Oppung Babiat Sitelpang (Harimau), membawa makna yang begitu dalam melalui literatur yang Oppung Siraja Lontung tinggalkan, bahwa alam dan isinya, akan memaknai cinta kita, merawat kita, mensejahterakan kita lebih dari manusia, menjaga, dan melindungi segala bentuk nasib sial kita sebagai manusia. Dan sejak itu, Manusia begitu pandai membaca alam,
Dari literatur lain, pandai-pandai (para datu), mulai merayu alam dan menyampaikan rayuan-rayuan apa yang indah dituturkan kepada alam terhadap seluruh isi kampung, dari apa yang mereka pelajari, mengembalikan apa yang telah alam berikan pula, seperti; menjaga hutan dan isinya, menghormati tao (danau), merawat binanga (sungai), dan memberikan kemanjaan bagi mereka (alam), haromonisasi itu tumbuh sampai sebelum orang Batak mengenal Kemudahan memakan Babi, atau pantasnya jika kukatakan, sebelum Misionaris Penjajah datang ke tanah toba, simalungun, pakpak, karo, mandailing, dan lainnya.
Aku tidak lagi ateis, untuk tidak pantas mengatakan itu, aku mengenal betul orang-orang di dataran tinggi itu, yang mengambil nama mereka dari para penjajah, yang telah melupakan sedikit banyak tradisi yang sejak dulu memiliki kelekatan dan harmonisasi terhadap alam dan isinya, karena kita adalah bagian dari alam itu sendiri, aku juga memahami niat-niat buruk penjajah sejak dulu, atau para pendatang yang mencoba mengeksploitasi segala hal yang ada di sana,
Bencana, tidak datang tiba-tiba, pertama-tama, “Jika kamu menyalahkan alam, kau harus menyalahkan Tuhan terlebih dahulu, di mana Tuhanmu?” Mungkin ini akan kukatakan jika tulisan ini kubuat tiga tahun lalu.
Di atas, kutulis “Mencintai manusia itu berarti harus mencintai Kerusakan pula,” karena tak ada yang lebih merusak dari manusia. Semua hal Dikomodifikasi, membuat setiap jengkal nafas kita, dan setiap kering keringat kita adalah nilai mata uang bagi mereka yang memburu nafas dan menadah keringat kita. Kesombongan, ketamakan, hawa nafsu, iri hati, kerakusan, membawa kita pada pada alam yang kian murung, sakit-sakitan, kita adalah kanker bagi alam.
“Pernahkah kamu berpikir bahwa saat ini kamu tidak memiliki keberdayaan?” Jika pernah, kamu adalah Kawanku. Kesombongan dan ketamakan, membuat kemanusiaan kita pun semakin kabur, apa yang ingin kusampaikan di sini? Entahlah,
Beberapa orang mengatakan kepadaku “Siapapun Pemimpinnya, aku tetap cari kerja sendiri, makan dari hasilku sendiri, Bahagia sendiri.”
Kataku “Saat mati, apa kamu dapat membaringkan dirimu sendiri? Dan apa yang menyebabkan kematianmu adalah engkau? karena engkau adalah si empunya kesendirian itu?”
Kesombongan menuntun kita pada batas yang tidak lagi kita mengerti, bahwa semuanya tidak benar-benar bisa dilakukan sendiri, dan yang ingin kumaksudkan adalah “apa yang kau dapati dari dirimu saat ini, bukanlah berkat, tapi pemberian otoritas yang lebih tinggi darimu; Negara!”
Besok, kau bisa saja tidak lagi bekerja, tidak dapat makan lagi, tidak lagi berbahagia, bagaimana dengan ucapanmu sebelumnya? Tapi, ucapanku berbalik “komunitas tempat kau menyombongkan diri, mengulurkan tangan untuk merawat kematianmu.”
Negara adalah Omong Kosong, begitupula dengan segala sesuatu yang memenuhi hasratnya, alat-alatnya, semuanya. Kamu memberikan hak hidupmu pada orang lain, kau menggadaikan kemerdekaanmu, kau menjerumuskan kesejatianmu sebagai manusia pada entitas yang tak kau kenali, pada akhirnya kau lebih takut pada Negara daripada Tuhan, lebih tunduk pada Polisi dan Tentara daripada Ayah dan Ibumu, lebih santun pada petugas pajak daripada saudara-saudaramu, dan lebih parahnya lagi, kamu menjadi terasing dari dirimu sendiri.
Negara, Pemerintah, Pejabat Publik, dan setan-setan lainnya, busuk sedari awal, sedari kau mengenal omong kosong di kelas Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial dari guru-guru yang wataknya rusak akibat negara, yang tak berani melawan, yang mencipatakan miniatur negara di sekolah, sampai membuatmu berpikir bahwa kau benar-benar merdeka, bahwa kau benar-benar dicintai oleh alam, bahwa kau bernilai.
Apa semuanya salah Negara? Iya, dan Ilusi Kesejahteraan itu diciptakan oleh mereka-mereka yang sering kau sebut pahlawan, yang diisi politisi-politisi busuk juga di zaman itu, Negara membuat penamaan pada mereka, gelar suci agar dapat dikultuskan oleh para Nasionalis, dan seolah-olah kita berterimakasih pada mereka, dan khianat jika tak menundukkan kepalamu pada mereka pula.
Bicara soal bencana, sejak awal tanah-tanah tempatmu berasal itu adalah milikmu, sejak kapan tanah-tanah itu jadi milik negara? Sejak Soekarno si tukang kawin itu mendeklarasikan kemerdekaan? Enak saja. Jadi bolehlah negara mengeksploitasi sesuka mereka? Iya, menurut negara akan demikian, melalui kapitalisme, negara merusak bahkan urusan percintaan kita, kau mau bicara soal alam pula, jelas-jelas negara yang membuatnya demikian, mengapa kau salahkan alam? Mengapa kau salahkan takdirmu? Mengapa kau salahkan Tuhan?
Negara tidak akan sepeduli itu, padamu yang mati dalam api mendung, yang tersungkur di kedalaman langit, yang menadah tangis di kepalamu, itulah kekuatan mutlak negara, kau dibentuk untuk membenci dirimu sendiri, membenci mereka yang berjuang pada kemerdekaannya, membenci kerahiman, membenci bumi, membenci pembangkangan.
Kita jadi terbiasa memakmuli, kemudian lupa, bahwa negara menggerus imajinasi kecil kita, di hadapan kita secara langsung, Negara yang awalnya mencari restu kakek-nenek kita untuk berdiri, dengan harapan anak-cucunya memiliki kesejahteraan, terbuang dalam sampah-sampah gema politik, kerakusan, keserakahan, dan kebanggan orang-orang yang menerima kemerdekaan kalian sebagai jaminan.
Sial memang menjadi orang-orang yang tidak melawan, yang tunduk, yang menjilat, yang busuk, yang mati tanpa bekas luka, di saat negara hadir hanya untuk mengerdilkan ide-ide kemerdekaan, keharmonisan, kebersamaan, dan cinta.
Pertanyaannya? Di mana kalian saat Ibu kalian diperkosa mesin-mesin tambang? Eskavator yang menggali tulang belulang Nenek Moyang kalian? Mengubah suara masa lalu demi memgusung kemajuan yang menghancurkan? Menebang batas-batas keyakinan dan menggantinya dengan si maha rakus?
Lalu, kalian hanya berdoa, menerima kematian, menerima kehancuran, menerima kemiskinan, menerima penundukkan, menerima ruang-ruang hidup kalian yang hancur di hadapan kalian, menerima semuanya. Menerima Takdir. “Terimalah sampai ujung nafas kalian,” Kata Negara, yang sore lalu membunuh jutaan kehidupan untuk membuka lahan-lahan keserakahan baru.
Tidak lupa, Aku masih Berdoa, Sambil Melawan. Menari di atas mimbar-mimbar yang merenggut kehidupan-kehidupan yang tulus dari saudara-saudaraku, itulah hak istimewaku sebagai orang berdosa, semoga Tuhan mengampuni kita semua. Mengampuni niat buruk kita, mengampuni keluguan, mengampuni rasa abai, mengampuni kita yang meludah pada Bumi yang selama ini menjaga kita.
Tapi, seperti kataku, hak istimewaku sebagai orang berdosa adalah berdoa dan melawan, bukan memaafkan, tidak ada ampun bagi mereka yang merusak setiap sendi dari apa yang ditinggalkan nenek moyangku, dari apa yang telah mereka rawat selama ribuan tahun sebelum hadirnya negara. Kerusakan harus dihadiahi kerusakan pula, Dendam ini harus terbayarkan dengan tarian kehidupanku, oleh darah-darah setiap pelupaan, setiap pengerusakan, pengerukan. Nafasku Panjang untuk melakukan tarian itu, jika hanya tubuhku yang mati, tidak apa, tapi perlawanan menular sebagaimana ketakutan, namun, dengan kerendahan hati dari ketulusan perlawanan, ketakutan hanya jadi mitos bagi kehidupan ini.
Tuhan ampunilah kami, restui setiap tarian-tarian perlawanan kami, demi kemerdekaan yang kau janjikan.
Malaikat Mikael, Sang Kebijaksanaan, Pemimpin tari-tarian keberanian, Lindungilah kami.
