Revisi UU TNI yang disetujui pada 20 Maret 2025 menandakan transformasi utama dari fokus keamanan negara menuju logika pengaturan agraria. Klausul pengamanan objek vital nasional bersifat strategis dalam pasal 7 ayat 2, menyerahkan kewenangan sipil atas lahan kepada otoritas militer. Strategi semacam ini mengulang pola eksklusi yang tumbuh sejak masa kolonial sampai orde baru, di mana tanah yang dimiliki suatu komunitas diambil alih dengan alasan stabilitas dan pembangunan.
Konflik agraria antara 2020 sampai 2024, menunjukkan terdapat lebih dari 1.000 kasus, yang di dalamnya terdapat beberapa peristiwa yang melibatkan personel militer dalam benturan langsung terhadap masyarakat, sedangkan lebih dari ratusan konflik lain mencatat peran militer sebagai aktor pemicu intimidasi dan penggusuran lahan. Hal tersebut menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam urusan agraria bukanlah kejadian sporadis, bahkan militer menjadi bagian dari upaya sistemik dalam memonopoli sumber daya. Brigade pangan yang diperkenalkan adalah bagaimana negara menerjemahkan ketahanan pangan ke dalam bahasa komando—menyingkirkan peningkatan potensi lokal ke area kontrol yang bersifat hierarkis.
Penetapan Peraturan Presiden No. 5/2025 pun demikian, penertiban kawasan hutan menambah dominasi militer di ruang sipil. Struktur satuan tugas menempatkan menteri pertahanan dan panglima militer pada kedudukan yang otoritatif, sementara masyarakat, terutama masyarakat adat menjadi objek regulasi yang terpinggirkan. Free, Prior, and Informed Consent yang diperkenalkan hanya menjadi upaya lain dan etiket simbolis, tanpa prosedur partisipasi yang nyata. Kelestarian lingkungan dan hak-hak yang dimiliki masyarakat setempat berubah menjadi komoditas politik, yang dicitrakan sebagai strategi nasional.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip otonomi masyarakat—pendekatan penguasaan negara-korporasi yang dibaca melalui perspektif agraria non-hierarkis dan etika pluralisme tanah. Dengan ini kita harus bersama-sama menjaga kesepahaman bersama masyarakat adat, serta membongkar mandat militer dalam pengelolaan lahan. Tanggung jawab agraria secara substansial harus dikembalikan pada badan agraria desa yang independen atau masyarakat itu sendiri, serta pengakuan penuh terhadap bagaimana masyarakat adat berkehendak terhadap tanah-tanah mereka.
Masyarakat, terutama masyarakat adat tentu lebih memahami bagaimana pengelolaan sumber daya di komunitas mereka tentang otonomi pangan dan kelestarian ekosistem—di mana setiap keputusan ditentukan melalui pemahaman mereka terhadap tanah, serta lahir melalui konsensus sejajar, tidak dengan rantai komando militer. Penegakkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi langsung, serta pembongkaran terhadap kesewenangan negara melalui undang-undang yang mengukuhkan peran militer di ranah agraria adalah hal terpenting bagi masyarakat dalam merawat tanah-tanah yang bahkan sebelum kehadiran negara, telah mereka miliki lebih dulu. Hutan dan tanah, yang telah menjadi satu tubuh terhadap masyarakat setempat haruslah dikembalikan ke tangan komunitas, bukan dijadikan objek kontrol negara atau korporasi.